Popular Topic

  •  | 
  • 22 June 2020

Eddy Law Edukasi Musisi Indonesia Tentang Hak Cipta

Dangduter, Jakarta – Sebagai Lawyer juga musisi, Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H. atau yang sering dipanggil Eddy Law. Tentu sangat paham betul perlindungan/Perundang hak cipta. Dalam hal ini, Eddy Law menjabarkan melalui tuliskan kajian ilmiah di bawah ini.

PRIVATE VOCATIONAL SCHOOL OF SONS AND SONG PROVIDERS CREATED BY GOOD YOUTUBER AND LEGAL ENVIRONMENT IN THE UNDERSTANDING OF THE UNDERSTANDING OF THE UNDERSTANDING TO THE UNITED STATES OF THE UN 31 OF 1999 JOINT LAW NO 20 OF 2001 CONCERNING CORRUPTION OF CRIMINAL ACT JO Law No. 28 of 2007 CONCERNING GENERAL PROVISIONS AND TAXATION PROCEDURES

 

(PEMBAJAK PENGCOVER HAK CIPTA MUSIK DAN LAGU YANG DILAKUKAN OLEH YOUTUBER BAIK SECARA PRIBADI MAUPUN BERBADAN HUKUM DALAM KANAL YOUTUBE TANPA LISENSI PEMEGANG HAK CIPTA-HAK TERKAIT DAN PELAKU PERTUJUKAN DI INDONESIA TERANCAM SANGKSI PIDANA UNDANG-UNDANG NO 28 TAHUN 2014 TENTANG HAKCIPTA JO UNDANG-UNDANG NO 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI JO UU NO 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN)

 

 

AUTHOR :

 

Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H.

Head of the Laboratory of Law Faculty, Muhamadiyah Metro University

Lecturer in Economic Criminal and Intellectual Property Rights at the Law Faculty of Muhammadiyah Metro University

Email :  edi.rharwanto@yahoo.com 

 

ABSTRAK- Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta  tidak dapat berdiri sendiri dalam menangulangi tindak pidana pembajakan, pengandaan, mengcover, mendistribusikan, mangarasmemen produk musik dan lagu milik pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan tanpa lisensi/izin akan mendapat sanksi pidana atau perdata. Selanjutnya sanksi pidana bagi para pelaku pembajakan, pengcover lagu, pengaransemen ulang  musik tanpa izin pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertnjukan akan mendapat sanksi pidana sebagaimana diatur  didalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Pasal 113 Ayat (1) “Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (4), ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Dalam penelitian ini, terdapat dua masalah pokok, yaitu: Masalah pertama terdapat kelemahan dalam implementasi penjatuhan sanksi ketentuan pidana didalam undang-undang hak cipta terkait masalah yuridis dalam perumusan ketentuan hukum pidana (penal policy).  Masalah yang kedua adalah harus ada pemahaman dikalangan pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan dalam pengoprasionalan penegkakan hukum dengan sarana

undang-undang lain diluar undang-undang hak cipta yang relefan dan dapat digunakan sebagai upaya perlindungan hukum dan kepastian hukum yaitu penerapan undang-undang tindak pidan korupsi dan undang-undang tindak pidana perpajakan.  Kajian pendekatan  penelitian ini mengunakan pendekatan sosio-legal merupakan kajian yang “memadukan” kajian doktrinal dengan kajian sosial, pemaduan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa aturan hukum tidak pernah bekerja di ruang hampa terhadap tindak  pidana pembajakan hak cipta lagu dan musik di Indonesia yang akan datang. Penelitian ini, ber-paradigma postpositivisme yang menjadi basis realitas berdasasarkan pengalaman, pengamatan peneliti bersikap netral terhadap obyek penelitian.   Kesimpulan dan saran penulis, untuk menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan yang akan datang, maka harus dilakukan reformulasi ketentuan ketentuan pidana di dalam Undang-Undang  No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang mengalami masalah yuridis. Dan, didalam fase transisi terhadap penerapan ketentuan sanksi pidana didalam undang-undang hak cipta, maka

Undang- Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai subyek hukumnnya dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan subyek hukumnnya dapat dilihat dari sisi tidak dibayarknya pajak lisensin ke ke kas negara sebagai pendapatan negara.

Kata Kunci : Pembajakan, Youtuber, Cover Musik dan Lagu, Lisensi, Reformulasi    KetentuanPidana, Hak Cipta, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Perpajakan

Bab I. Pendahuluan

Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta  tidak dapat berdiri sendiri dalam menangulangi tindak pidana pembajakan, pengandaan, mengcover, mendistribusikan, mangarasmemen produk musik dan lagu milik pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan tanpa lisensi/izin akan mendapat sanksi pidana atau perdata. Sanksi perdata yang dapat dilakukan merujuk pasal Pasal 99 Ayat (1) Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait. Ayat (2) Gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait. Ayat (3) Selain gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait dapat memohon putusan provisi atau putusan sela kepada Pengadilan Niaga untuk : (a) meminta penyitaan Ciptaan yang dilakukan Pengumuman atau Penggandaan, dan/atau alat Penggandaan yang digunakan untuk menghasilkan Ciptaan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait; dan/atau (b) menghentikan kegiatan  Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan Ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait. Selanjutnya sanksi pidana bagi para pelaku pembajakan, pengcover lagu, pengaransemen ulang  musik tanpa izin pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertnjukan akan mendapat sanksi pidana sebagaimana diatur  didalam Pasal 113 Ayat (1) “Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (4), ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Namun, demikian, payung hukum pperdata dan pidana sebagai landasan yuridis bagi para pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan dalam mencari keadilan hukum bila terjadi tindak pidana hak cipta, selalu di hadapkan dengan pola-pola dan sistem berhukumnya yang dinilai rumit dan sulit ditindak lanjuti. Dalam implementasi undang-undang hak cipta terkadang penyidik pori, jaksa dan hakim tidak satu pandang dalam menafsirkan regulasi sanksi pidana maupun perdata dari tujuan undang undang hak cipta selalu berakhir pada rasa kecewa yang dialami para pemegang hak cipta, ha terkait dan dan hak pelaku pertunjukan. Pelaku pembajakan dan pelaku pengcover musik dan lagu berlengang bebas seolah merasa tidak bersalah. Saat ini ang menjadi sorotan tajam oleh kalangan pemagang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertnjukan adalah menghadapi para pengcover lagu liar di Yutube dan sarana media sosial lain yang berlangsung begitu bebasnya, sehingga terkesan undang-undang hak cipta tak mampu membendung aktifitas mengcoveran lagu dan musik secara liar dan tak bermoral. Banyak, para penyanyi, musisi, pencipta lagu menyampaikan keluh kesahnya kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, namun demikian keluhan mereka hanya sebatas didengar tanpa tindak lanjut kongret. Khususnya institusi kepolisian tidak memiliki hak hukum untuk melakukan penyidikan secara bebas kepada para pelaku tindak pidana pembajakan atau pelaku pengcover lagu tanpa izin, karena regulasi undang-undang hak cipta kasus pidana hak cipta bukan lagi menjadi delik umum namun delik aduan. Sehingga dengan berubahnya status delik umum menjadi delik aduan, membatasi ruang polri dalam melakukan proses hukum, tanpa ada upaya mediasi antara pelapor dan terlapor dengan di fasilitas lembaga Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia atau tim mediator Hak Kekayaan Intelektual, tidak dapat menempuh upaya pidana. Hal ini menjadi hambatan para pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan untuk melakukan upaya hukum pidana di Indonesia. Hal penyebab lain, lemahnya penindakan hukum pidana di Indoesia, adalah secara ekonomi pelaku tindak pidana pembajakan yang bersekala besar itu dilakukan oleh perusahaan yang memiliki fiansial kuat secara ekonomi, sehingga ia dengan sangat mudah memainkan strategi menghadapi masalah-masalah dengan cara-cara tidak bermoral dan mengecilkan hak-hak pemegang hak cipta (pencipta lagu), hak terkiat (procuser fonogram-lembaga penyiaran) dan pelaku pertunjukan (penyanyi-mususi-pencipta lagu). Apalagi, para youtubers Indonesia, yang membuat konten-konten lagu musik semau sendiri, tanpa mecantumkan nama pencipta lagu dan composer musik, hal itu sudah merupakan pelangaran hak moral dan pelangaran lisensi  yang dapat dipidana, karena sudah merugikan secara ekonomi bagi mereka. Bahwa, seperti kita ketehui, para fonomena para youtubers Indonesia, saling berlomba-lomba membuat konten dari berbagai jenis dan bentuk intertein maupun acara-acara formal non formal, hiburan dan seni. Satu diantaara yang lagi diganrungi para youtubers adalam membuat cover musik dan lagu yang diyanyikan oleh bukan penyanyi dan musisi aslinya, sehingga mendulang dukungan dan mendapatkan jutaan subcribe, like dan di tonton jutaan orang dilseuruh dunia. Dari hasil membuatan konten mengcover lagu dan musik banyak para youtubers mendulung banyak rupiah dari youtube yang hasilnya di transver langsung dari pihak youtube ke rekening pemilik akun yang membuat konten cover lagu dan musik. Regulasi  Youtube dalam pemberian adsense :     

3.  Sudah Siap Mendaftar AdSense YouTube?

 

Syarat Sebelum Daftar Adsense YouTube Adsense YouTube adalah salah satu sumber penghasilan paling menjanjikan, tidak heran jika hampir semua Youtuber mengaktifkan iklan Adsense di video mereka. YouTube memberikan syarat sebelum Anda benar-benar bisa melakukan monetisasi, yaitu akun sudah terverifikasi, mempunyai 1000 subscriber, tidak melakukan spamming, dan yang paling berat adalah sudah mendapatkan 4000 jam tayang selama 12 bulan terakhir.  [1]  Artinya, banyak para youtuber sudah mendapatkan penghasilan dari hasil mengcover musik dan lagu-lagu milik pemegang cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan, namun mereka ini tidak mendapatkan apa-apa, para youtuber yang mendapatkan hasil. Oleh sebab itu, penulis berpendapat, bahwa youtube merupakan wadah dan sarana dan tempat menyediakan sarana digital untuk mempublis karya-karya para youtuber untuk tujuan agar karya tersebut ditonton oleh banyak orang melalui sarana digital, dimana dari hasil penayanganya dari produk para youtuber ke youtube akan dimasukan iklan-iklan yang bersifat komersil bagi akun yang mendapatkan sucbriber jutaan dari penjuru dunia. Dari hasil di tonton banyak orang, menayangkan iklan-iklan komersil di konten youtube dan telah memenuhi sarat untuk mendapatkan adsense dari youtube. Adsence adalah, program kerja sama periklanan melalui media internet yang diselengarakan oleh google pemilik situs web atau blog akan mendapatkan pemasukan berupa pembagian keuntungan dari google untuk setiap iklan yang diklik oleh pengunjung situs yang dikenal dengan sistem pay per click (PPC) atau bayar per klik. [2]   Oleh sebab itu, apapun jenis dan bentuk regulasi youtube, yang jelas dari sisi hukum, youtuber yang membuat konten-konten cover musik dan lagu dapat dikatakan merupakan tindak pidana hak ekonomi pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan sebagaiman di atur didalam Pasal 113 Ayat (2) huruf c, d, f, dan h, yang mengancam bagi para pelaku penerjemahan ciptaan, pengandaptasian, pengaransemenan atau pentranformasian ciptaan atau salinan, pertunjukan ciptaan dan komunikasi ciptaan tanpa izin dari pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan maka dapat kenakan sanksi pidana penjara selama paling lama tiga tahun dan sanjsi pidana denda paling banyak Rp 500 juta rupiah. 

 

Sanksi pidana kepada para pelaku pengcover musik dan lagu tanpa izin tampak jelas dapat dilakukan melalui upaya pidana dan perdata, karena youtuber sudah jelas dalam membuat konten-konten cover lagu secara sengaja dan niat untuk mencari keuntungan secara komersil, bukan hanya untuk iseng-iseng. Karena, regulasi youtube sudah jelas, bahwa para youtober siapa saja, akan mendapatkan nilai ekonomi bagi akun akun yang memenuhi sarat, karena harga 1000 subcribe youtube bernilai Rp 13 ribu rupiah. Seperti  kita lihat di kanal youtube Sosil Blate, youtuber Atta Hahallintar dengan 20 ribu subcriber akan meraup USD$ 16,2 ribu hingga USD$ 258,6 ribu atau setara Rp 3,6 miliar lebih setiap bulanya dari hasil pembuatan konten-konten di kanal youtube. [3]  Hal ini menunjukan, bahwa para youtuber Indonesia memang secara ekonomi mendapatkan keutungan dari pembuatan konten-konten yang diungah pada kanal youtube, oleh sebab itu terdapa hak hak ekonomi  para pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan yang wajib dibayarkan hak lisensi kepada mereka sesuai dengan kesepakat nilai dan jumbah uang yang diberikan.     

Reformulasi sistem hukum, dalam penataan formulasi, aplikasi dan eksekusi UU No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum menghindari masalah yuridis dalam implementasi keberlakukan UUHC. Karena, penerapan ketentuan pidana dalam UUHC sebagai langkah akhir pencari keadilan bagi para pelaku pertunjukan untuk medapatkan keadilan hukum untuk membela hak ekonomi dan hak moralnya terhadap karya hak cipta lagu dan musik di Indonesia. Reformulasi UUHC, sebagai sarana untuk memberikan perlindungan hukum secara jelas melalui ketentuan pidana, disamping juga dapat mengunakan dan menfungsikan keterlibatan Undang-undang lain guna turut membantu penegakkan hukum pidana Undang-undang  Hak Cipta di Indonesia.  [4]Eksekusi dapat diartikan adalah sebagai pelaksanaan putusan dari pelaksanaan akhir dari keberlakukan ketentuan pidana dalam UUHC atau hasil akhir.  Karena, didalam penerapanya, terdapat ruang di luar UUHC dapat masuk dalam rangka penegakkan hukum pidana. Dampak dari tindak pidana pelangaran hak cipta secara ekonomi bukan hanya merugikan pelaku pertunjukan semata di Indonesia, namun juga merugikan keuangan negara.  Oleh sebab itu, kedepan penegakan hukum pidana, diharapkan jangan hanya terpaku dengan keberlakuan UUHC, namun dapat mengunakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang bisa melibatkan lembaga penegak hukum polri, jaksa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penangulangi tindak pidana pembajakan di Indonesia.   Data dari ASIRI tahun 2017 merilis bahkan, kerugian negara akibat tindak pidana pembajakan di Indonesia mencapai Rp 1,75 trilyun rupiah, sementara kerugian ekonomi akibat tindak pidana pemabajakan mencapai Rp 17,5 trilyun rupiah.  Oleh sebab itu, guna mengoptimlkan penegakan huku pidana, dalam rangka melakukan implementasi atas keberlakukan UUHC, harus didampinggi UU Tipikor sebagai sarana pendukung dalam penegakkan hukum pidana. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) UU No 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara di jelaskan bahwa yang dinamakan “Keuangan Negara” adalah adalah; [5]

Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Pasal 2 UU No 17 Tahun 2013

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

  1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
  2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
  3. Penerimaan Negara;
  4. Pengeluaran Negara;
  5. Penerimaan Daerah;
  6. Pengeluaran Daerah;
  7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
  8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
  9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

 Dari penjelasan hal tersebut diatas, mengenai “keuangan negara”, akan akan diperjelas mengenai pemaknaan “kerugian keuangan negara”.Makna “keuangan negara” dalam Pasal 1 butir-1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan, makna “Keuangan Negara” adalah “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pada dasarnya UU Korupsi memberi penekanan bahwa korupsi selain identik dan melekat pada jabatan pegawai negeri dan penyelenggara negara, juga melekat pada penerimaan dan pengeluaran dana APBN/APBD serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dalam Pasal 1 butir-22 UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian keuangan negara sebagai “kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Dalam teori hukum pidana, pengertian tersebut termasuk “delik materiil” sesuai Putusan MK di atas lantaran memberi syarat adanya kerugian negara “yang benar-benar nyata dan pasti jumlahnya” sebagai akibat suatu perbuatan yang dilarang dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.  Artinya berkaitan dengan adanya potensi kerugian keuangan negara pada penerimaan PPN dan PNBP  Rp 1,75 trilyun rupiah dapat digunakan UU Tipikor untuk melakukan upaya membentu penegakan hukum terhadap pelaksanaan UUHC. Dengan penjelasan dan definisi secara jelas terhadap pemaknaan “keuangan negara: dalam ketentuan UU Berbendaharaan Negara dan UU Keuangan Negara berarti pengelapan dan atau tidak dibayarkanya pajak PPN dan PNBP yang dilakukan yuser dan atau pejabat kementrian dirjen HKI Kemnkum HAM RI dapat dilakukan dengan pendekatan UU Tipikor.

 

Selanjutnya pendekatan implementasi konsep “kerugian keuangan negara” berdasarkan terminologi Undang-undang No 17 tahun 2003 tersebut, dalam implementasinya sebagai berikut ; hilang atau berkurangnya hak kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban akibat perbuatan melawan hukum dalam bentuk hilangnya atau berkurangnya hak dan kewajiban negara. Hilangnya atau berkurangnya penerimaan dan atau pengeluaran keuangan negara dapat dikatagorikan sebagai “kerugian keuangan negara”. Misalnya, berkurangnya pada sektor pendapatan penerimaan negara atau daerah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), retribusi, dan penerimaan dari usaha negara. [6] Dalam hal ini, akibat pelaku tindak pidana pembajakan hak cipta bidang musik dan lagu, negara di rugikan Rp 1,75 trilyun rupiah pada sektor pajak PPN dan PNBP.

Untuk mengembalikan kerugian keuangan negara (asset recovery), senilai Rp 1,75 trilyun rupiah,  maka Pasal 18 Ayat (1) huruf-b UU Tindak Pidana Korupsi mengatur pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti” yang jumlahnya sebanyak dengan harta benda yang diperoleh dari pelaku tindak korupsi pembajakan hak cipta. Termasuk perusahaan milik terpidana di mana korupsi dilakukan, serta harga dari penggantian barang-barang tersebut. Jika terpidana pebajakan hak cipta tidak membayar uang pengganti dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan hakim berkekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti. Hal ini juga sejalan dengan putusan MK karena hakim hanya akan mejatuhkan putusan “pembayaaran uang pengganti” apabila penuntut umum membuktikan adanya kerugian keuangan negara di depan sidang pengadilan berdasarkan audit BPK.  Di sinilah penyidik dan penuntut umum mengharuskan adanya hasil audit BPK atau juga dapat dilakukan BPKP mengenai kepastian jumlah kerugian negara yang diduga dikorupsi oleh pelaku tindak pidana pembajakan hak cipta pada sektor pendapat pajak PPN dan PNBP oleh terdakwa. Tujuannya agar hakim dapat dengan pasti menjatuhkan pidana “pembayaran uang pengganti” sesuai jumlah kerugian keuangan negara yang terbukti dikorupsi. Kerugian keuangan negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah pada “adanya potensi kerugian negara”. Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara: 25/PUU-XIV/2016 tanggal 26 Januari 2017 terhadap Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi terkait kata “dapat” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK itu menempatkan delik korupsi bukan lagi “delik formil” melainkan “delik materiil” yang harus dibuktikan adanya akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dari perbuatan yang dilarang dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. MK dalam pertimbaangan hukumnya mengubah penilaian konstitusional dalam Putusan MK sebelumnya Nomor Perkara: 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa “pemaknaan kerugian keuangan negara atau perekonoian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi”, sehingga terdapat alasan yang mendasar bagi Mahkamah “untuk mengubah penilaian konstitusional karena penilaian sebelumya telah nyata secara berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi”. Secara khusus Mahkamah Agung RI juga membuat aturan transisi mengenai kejahatan korupsi yang melibatkan korporasi. Karena terjadi kekosongan hukum didalam KUHP, maka diperlukan aturan sementara sambil menunggu RKUHP disahkan. Jika didalam ketentuan UUHC melibatkan korporasi, maka aturan ini dapat digunakan sebagai aturan pendukung dalam proses hukum terhadap pelaku tindak pidana korporasi.[7]  Peraturan Mahkamah Agung  RI No 13 Tahun 2016 . Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi  Pidana Korporasi ;

  1. Perma masih bersifat transisi untuk mengisi kekosongan hukum. Pengaturan lebih lanjut seharusnya berada dalam KUHP. Namun rancangan KUHP masih dibahas.
  2. isi Perma dianggap akan bertabrakan dengan aturan internal yang serupa di institusi lain. Sebagai contoh, Kejaksaan RI telah memiliki Peraturan Jaksa Agung Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.
  3. Perma hanya mengatur persoalan formal-prosedural, belum mengatur hal-hal yang substansial. Seperti menarik pertanggungjawaban pidana korporasi, kapan suatu perbuatan dapat dibebankan kepada korporasi, dan kapan suatu perbuatan tidak dapat dibebankan kepada korporasi.
  4. Perma belum menyentuh korporasi dalam bentuk non badan hukum. Perma juga disebut tidak menjelaskan apa-apa saja korporasi yang merupakan badan hukum dan apa-apa saja korporasi yang merupakan bukan badan hukum serta bagaimana pengaturan antara yang satu dengan yang lain.
  5. batasan dalam menentukan perbuatan seseorang yang tidak punya kewenangan mengambil keputusan namun dapat mengendalikan atau mempengaruhi kebijakan korporasi atau dalam Perma disebut "Pengurus". Batasan ini dinilai masih belum jelas.
  6. tidak ada penjelasan tentang perbedaan pertanggungjawaban grup korporasi dengan penyertaan tindak pidana.
  7.  sanksi yang diberikan masih terbatas denda. Seharusnya sanksi bisa ditambah dengan pencabutan izin usaha, status badan hukum, perampasan keuntungan, penutupan sebagian atau seluruhnya perusahaan, perbaikan akibat dari tindak pidana atau menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama tiga tahun.
  8. Perma tidak mengatur perbedaan signifikan dalam menetapkan korporasi atau pengurus sebagai tersangka/terdakwa.

A. Audit BPK

       Kerugian keuangan negara pada sektor pendapatan pajak PPN dan Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) senlai Rp 1,76 trilyun rupiah pada sektor barang dan jasa atas produk karya seni musik dan lagu baik fisik maupun digital oleh ASIRI, adalah merupakan delik korupsi. Sehingga tidak harus mengunakan UUHC dalam rangka menekan pelaku tindak pidana pembajakan hak cipta musik dan lagu. Hal ini, bagian dari dampak terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara: 25/PUU-XIV/2016 tanggal 26 Januari 2017 terhadap Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi terkait kata “dapat” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK itu menempatkan delik korupsi bukan lagi “delik formil” melainkan “delik materiil” yang harus dibuktikan adanya akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dari perbuatan yang dilarang dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. MK dalam pertimbaangan hukumnya mengubah penilaian konstitusional dalam Putusan MK sebelumnya Nomor Perkara: 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa “pemaknaan kerugian keuangan negara atau perekonmian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi”, sehingga terdapat alasan yang mendasar bagi Mahkamah “untuk mengubah penilaian konstitusional karena penilaian sebelumya telah nyata secara berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi”. Untuk dapat melakukan upaya hukum terhadap pelaku tindak pidana pembajakan hak cipta musik dan lagu terlebih dahulu dilakukan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Dengan demikian, penyidik perkara korupsi sebelum suatu perkara ditingkatkan ke tahap penyidikan, harus ada audit kerugian keuangan negara yang menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini mengantisipasi audit kerugian keuangan negara dari BPK dijadikan objek praperadilan penetapan tersangka.    

DAFTAR KERUGIAN INDUSTRI MUSIK DAN KERUGIAN NEGARA TAHUN 2017

 

No

 

Nama Pendapatan

 

Kerugian Industri

 

Kerugian Negara

1

Pembajakan Fisik

Rp 3,5 trilyun

Rp 350 miliar

2

Pembajakan Digital

Rp 14 trilyun

Rp1,4 miliar

Total

 

Rp 17,5 trilyun

Rp 1,75 trilyun

 

Melihat dari angka kerugian negara tersebut sangat besar, sehingga jika UUHC yang tidak mampu untuk menerobos dalam rangka melakukan tindakan hukum secara pidana, maka harus ada Undang-undang lain yang mendampinggi UUHC agar hal itu dapat menekan angka tindak pidana pembajakan, dan dapar memberikan sanksi tegas kepada para yuser yang tidak mau membayar PNBP ke kas negara. Pengelapan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang semestinya di setor ke kas negara namun tidak di bayarkan oleh para yuser, dapat di katagorikan tindak pidana korupsi, karena hal itu telah merugikan penekonomian negara dan keuangan negara. Tindak pidana korupsi PNPB ini merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi para pelangar pidana pembajak, pengandaan dan lisensi dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak pada kerugian keuangan negara.  Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum yaitu : Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Artinya, pada frase “setiao orang secara melawan hukum” dalam UU Tipikor, dapat juga di gunakan untuk menjadi bahan penyidikan bagi kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi atas dana penerimaan PNBP yang tidak dibayarkan oleh para yuser kepada kas negara. Hal itu, secara jelas dan terang telah merugikan negara dan merugikan perekonomian negara, sehingga negara di rugikan mencapai Rp 1,75 trilyun rupiah.   Upaya penegakan hukum pidana terkiat tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik secara jelas membawa dampak bagi pelaku pertunjukan dan negara, oleh sebab itu UUHC yang baru, belum mampu memberikan pengaruh secara baik atas maraknya tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik. Maka itu, dalam rangka mendukung UUHC, manakala belum mampu menjawab persoalan atas tindak pidana pembajakan, maka hukum lain yang memiliki ruang dalam turut serta membentu memberantas tindak pidana pembajakan, maka UU Tipikor sebagai solusi dalam rangka menekan angka tindak pidana pembajakan di Indonesia. Melalui kepolisian, kejaksaan dan KPK, dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan para yuser yang tidak mau membayar pajak atas produk-produk CD dan DVD serta sarana digital lainya tidak harus menunggu pengaduan dari korban. Karena, didalam UUHC, tindak pidana pembajakan dapt di roses secara hukum pidana, setelah melakukan mediasi terlebih dahulu dan membuat pengaduan. Para pelaku tindak pidana, tentu tidak akan kalah akal, dan meraka pasti akan menyelesaikan sengketa itu pada tahab mediasi, dan ruang penegakan hukum pidanya akan lebih kecil.    Saat ini, memang belum ada, upaya hukum pidana atas kerugian negara pada sektor PNBP yang dilakukan aparat penegak hukum, karena selain hal itu suatu tindak pidana yang baru pada sektor PNBP dari hasil pajak pendapatan karya musik dan lagu di Indonesia. Oleh sebab itu, institusi negara harus berani melakukan upaya jemput bola, agar para pelaku tindak pidana pembajakan semakin berkurang, dengan lebih berorentasi dari sisi penaggkan hukum pidana korupsi sektor PNBP kepada para yuser di Indonesia. Memang, sangat banyak pelaku yuser di Indonesia, namun paling tidak, dengan kerja sama yang baik dapat berkordinasi dengan ASIRI, PAPPRI dan organisasi profesi laianya, untuk memproleh data dan informasi pelaku tindak pidana pembajakan di Indonesia. 

Bertolak dari hal tersebut diatas, bahwa implikasi dari UUHC yang baru, ternyata belum sepenuhnya menjawab persoalan tindak pidana pembajakan di Indonesia. Maka setiap kebijakan legislasi harus pula merupakan suatu perwujudan kearah tercapainya tujuan itu. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umunya dapat dibagi dalam dua kelompok teori yaitu :

1. Teori absolut atau teori pembalasan (relativ/vergeldings theorieen),

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doelheorieen).

Menurut teori absolut ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut. Artinya, UUHC yang baru semestinya merupakan hasil akhir dari upaya penegakkan hukum pidana, dan dapat menyelasaikan masalah-masalah pidana yang ada. Jika, saat ini UUHC yang baru belum mampu menuntaskan tindak pidana pembajakan, pengandaan dan masalah lisensi dan pidana terkait di dalam melindunggi hak-hak pelaku pertunjukan berarti UUHC yang baru belum mampu mewujudkan keingingan para pelaku pertunjukan di Indonesia.  Sedangkan tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ini ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice). Sementara saat ini tindak podana pembajakan tetap mendominasi pasar secara bebas, artinya di disini telah terjadi pembiaran-pembiaran hukum di aspek hukum pidana. Para pelaku pertunjukan di Indonesia, tidak terlalu respon dengan upaya mediasi, karena upaya itu tidak bisa memberikan jawaban atau solusi untuk menghentikan tindak pidana pembajakan. Pemerintah hanya fokus dengan upaya-upaya mediasi lebih pada aspek perdata, sementara pelangaran tindak pidana pembajakan tidak tersentuh sama sekali, karena tindak pidana pembajakan merupakan delik aduan.

Timur Priyono adalah salah satu narasumber sebagai musisi di Indonesia, yang memiliki puluhan lagu hizt di Indonesia, diantranya lagu “Yang Penting Hepy” yang di populerkan Jamal Mirdad melihat, implikasi dari keberlakukan UUHC yang baru baru sebatas penanganan kasus keperdataan yang menyangkut penataan lembaga LMKN dan LMK di Indonesia. Menata agar para yuser mebayar royalti secara benar dan jujur. Kertika LMKN dan LMK dan perangkat lain sebagai mitra kerjanya bekerja, memang secara ekonomi ada peningkatan pendapatan terhadap para pelaku pertunjukan, namun tidak banyak perubahan, tidak seknifikan. Menurutnya, masalah tindak pidana pembajakan di Indonesia ini jika hanya aspek kepqardataan saja yang di tonjolkan, maka pembajakan tidak akan pernah tuntas. Kenapa, karena para pembajak itu akan memiliki rasa jera kalu sudah di hukum fisik penjara, dan denda. Kalu hanya mediasi dengan di fasilitasi dirjen HKI, oleh penyidik PPNS tidak akan tuntas dan sanksinya masih terlalu lunak, banyak alasan dan argumentasi, jika para pembajak negoisasi juga banyak berkilah, mereka selalu berkilah dengan upaya pembayaran semurah mungkin ganti ruginya kepada pihak korban.  Pihaknya sering mengalami hal seperti itu, negoisasi yang tidak ada kesimpulanya, sementara secara ekonomi para pembajak sudah meatik hasil. Timur Priyono mengakui pernah dulu salah satu Stasiun Televisi Nasional, mengunakan lagu miliknya dengan di rubah-rubah syair tanpa izin dirinya, ketika di somasi oleh penasehat hukum, pihak televisi hanya menghentikan program acaranya, namun mereka juga tidak mau membayar royalti, padahal sudah sering digunakan lagu-lagu saya untuk kegiatan komersil di program acara tersebut.

Langkah kedepan yang harus ditempah pemerintah, sebaiknya unsur delik aduan di UU No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta sebaiknya di rubah dengan delik biasa, agar polri dapat bekerja maksimal dalam penanganan tindak pidana pembajakan. Paling tidak hal itu, dapat meringankan para pelaku pertunjukan, tanpa ada pengaduan dari kami, polisi bisa melakukan penangkapan, penyitaan dan pengeledahan ke para pembajak karya cipta lagu dan musik di Indonesia. Saat ini, di Indonesia di berbagai pernjuru, produk CD dan DVD bajakan mendominasi pasar dan hal itu tidak ada tindakan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Hal ini sangat ironis, manakala UUHC yang baru di undangkan dan berlaku diawal Tahun 2017 lalu, hanya pembenahan adinsitrasi hak ekonomi dan hak moral menarik royalti saja, namun pembajakan, pengandaan, pelangaran lisensi dan mutilasi lagu di mana-mana akibat tindak pembajakan tidak disentuh sama sekali. Hal itu yang menyebakan para pelaku pertunjukan enggan melakukan upaya hukum, karena UUHC yang baru mengiring kita untuk ke arah perdata yaitu mediasi, sementara kita mau bermediasi dengan siapa para pembajak gudang kantor tersembunyi, semntara produk yang dihasilkan cukup besar dan banyak menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Oleh sebab itu, hal itu berimplikasi terhadap para pelaku pertunjukan secara langsung, selain harha diri martabat kita tidak diangap, produk CD dan DVD bajakan itu juga tidak menyebut dan menulis pencipta lagu. Bahkan, di rumah karaoke secara digital, juga banyak lagu-lagu yang tidak ditulis penciptanya, hal itu merugikan secara moral dan merupakan tindak pidana hak cipta. Maka itu, pihakinya sependapat, di banyak kalangan praktisi hukum, meminta agar unsur delik didalam UUHC yang baru di revisi, dikembalikan keseprti semula delik biasa, agar polri punya keleluasaan melakukan tindakan hukum secara pidana. Hanya hukuman pidana inilah yang bisa memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pembajakan di Indonesia. UUHC yang baru tidak akan dapat membantu memberikan solusi kepada para pelaku pertunjukan, karena tidak mampu menciptakan nilai keadilan hukum dan kesejahteraan ekonomi. Maraknya tindak pidana pembajakan saat ini sebagai cerminan bahwa UUHC yang baru tidak mampu memberikan solusi dalam tindakan kongret terhadap para pelaku tindak pidana pembajakan di Indonesia.  Menurut teori relatif, pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Namun dalam perkembangan sekarang bahwa pemberian hukuman kepada pelaku tidak hanya dilihat dari kepntingan masyarakat namun juga kepada kepentingan pelaku, artinya bila kita biarkan tanpa hukuman maka mungkin saja teori absolut dapat berlaku ia akan dihakimi oleh pihak yang telah dirugikannya. Dalam pendangan Nigel Walker reduktif (thereductive point of law) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh sebab itu, jika UUHC yang baru lebih pada dominasi ke arah keperdataan, maka dikhawatirkan nasib pelaku pertunjukan di Indonesia, akan tetap sulit mendapatkan keadilan hukum dari aspek hukum pidana, karena UUHC yang baru memang membatasi ruang penyelesaian tindak pidana pembajakan ke arah mediasi secara keperdataan. Lalu, siapa yang akan melakukan mediasi, ketika pelaku tindak pidana pembajakan melakukan aktifitasnya secara terselubung, tidak mungkin pelaku pertunjukan di Indonesia akan melakukan penghakiman secara sendiri-sendiri dan harus mengawasi para pelaku tindak pidana pembajakan, pasti jika para korban pelaku pertunjukan turun lapangan maka yang terjadi pasti kerusuhan-kerusuhan dengan para kaki tangan perusahaan pembajak. Disinilah penulis, mengkhawatirkan  bahwa, kedepan UUHC yang baru saat ini dan yang akan datang dari sisi aspek hukum pidana akan mandul dan mati suri dan akan merugikan pelaku pertunjukan yang lebih besar, karena adanya perubahan unsur delik biasa menjadi delik aduan sebagai indikator kuat terjadinya pelemahan hukum pidana di dalam UUHC yang baru.  Fonomena maraknya tindak pidana pembajakan, pengandaan, pelangaran lisensi dll, ini akan menjadi titik awal terjadinya goncangan terhadap para pelaku pertunjukan kedepan, jika hal ini tidak di sikapi oelh pemerintah dan organisasi profesi yang menaungi para pelaku pertunjukan di Indonesia. Seperti dikatakan Emile Durkheim fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau digoncang oleh adanya kejahatan. Sedangkan aliran-aliran dalam hukum pidana tidaklah mancari dasar hukum atau pembenaran dari pidana, tetapi berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Seperti didalam UUHC yang baru harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pelaku pertunjukan di Indonesia saat ini dan yang kan datang. Jangan sampai sanksi pidana dalam UUHC yang baru hanya menjadi pepasan kosong yang hanya menjadi pasal-pasal yang tidak dapat dilaksanakan, karena terhambat dengan sistem hukumnya yang lebih dominan ke arah ranah keperdataan.  

 

Oleh sebab itu, implikasi dari UUHC yang baru ini, kebijakan formulasi hukum pidananya harus diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik dan tepat serja berkeadilan untuk masa saat ini dan masa yang akan datang. Artinya, menurut penulis sanksi pidana semestinya tidak terhambat dengan kehendak lain, dengan sarana mediasi secara perdata, upaya pidana tidak mempengaruhi proses korban untuk menempuh upaya hukum secara perdata, karena aspek perdata dan pidana merupakan dua hal yang terpisah baik mekenisme dan prosedur hukum acaranya untuk proses sampai ke proses peradilan pidana dan perdata.  Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum dalam rangka menekan tindak pidana pembajakan, pegandaan dan pelangaran lisensi harus menjadi keutamaan dalam UUHC yang baru. Oleh karena hukum bekerja dalam ranah kemasyarakatan, maka penggunaan upaya hukum termasuk dalam bagian kebijakan perlindungan dan kesejahteraan sosial. Perlunya penggunaan sarana pidana dan hukum pidana menurut Roeslan Saleh didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh mempergunakan paksaan;
  2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;
  3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat;

 

Dengan memperhatikan beberapa alasan penting di atas, maka penggunaan pidana dan hukum pidana diperlukan dalam rangka penanganan terhadap tindak pidana pencucian uang sekaligus untuk memulihkan sendi-sendi kehidupan sosial yang terganggu oleh adanya kejahatan yang bertentangan dengan semangat hidup berbangsa dan bernegara tersebut. Berbicara mengenai kebijakan formulasi hukum pidana, tentunya tidak terlepas dari objek yang hendak diatur yaitu kejahatan atau strafbaarfeit, Simmons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hammel berpendapat bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Adanya unsur perumusan dalam undang-undang dan pertanggungjawaban pidana merupakan ciri mendasar dari definisi kejahatan atau perbuatan pidana.

 

Kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Marc Ancel berpendapat pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

 

Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Dalam kaitan ini, politik hukum dalam UUHC yang baru, semestinya dapat lebih mengutamakan penegakkan hukum pidannya, sehingga tindakan kriminalisasi (proses saat terdapat sebuah perubahan perubahan perilaku individu-indivisu yang cenderung menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat), karena oleh sebab lemahnya penerapan hukum pidana dalam UUHC yang baru.   Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Jika, tujuan dari UUHC yang baru, lebih pada ke arah keperdataan, maka aspek hukum pidananya akan lemah dalam pelaksanan eksekusinya. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.

 

Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian, yaitu :

 

  1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
  2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal;
  3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement. Lanjut halaman 2 klik disini

Konten Lainnya