Popular Topic

  •  | 
  • 22 June 2020

Eddy Law Edukasi Musisi Indonesia Tentang Hak Cipta Part 2

pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.sebelum melakukan upaya pidana. [1].

Teori yang ketiga adalah teori Komponen  Sistem  Hukum  (KSK) sebagaimana di kemukanan Lawrence M. Friedman. Dalam bukunya, “American Law, An Introdaction” , Friedman mengatakan, ada tiga komponen sistem hukum, yaitu, struktur hukum, subtansi hukum, budaya hukum. [2]  Pertama struktur hukum, adalah kerangka atau rangkainya hukum, bagian yang memberi bentuk dan batasan terhadap keseluruhan . Struktur adalah semacam sayatan sistem hukum, semacam foto diam yang menghentikan  gerak. Struktur hukum itu berkaitan dengan wadah, organisasi atau lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum.  Kedua, subtansi hukum, meliputi aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu-keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Jadi, subtansi hukum tidak terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Penekanan di sini terletak pada hukum yang hidup (living law) bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books). Ketiga, budaya hukum, adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum  kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapanya. Dengan kata lain, budaya hukum adalah suasana pikiran soaial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.  Apakah selama ini hukum hak cipta sudah menunjukan peranya sebagai alat pembaharuan  masyarakat,  dan apakah hukum hak cipta sudah “hukum yang pro rakyat dan “hukum yang pro keadilan” dalam realitas kongkritnya.  Berdasarkan teori  Friedman,  perlindungan hak ekonomi pencipta akan ditelaah  dan dikaji berdasarkan lembaga - lembaga atau institusi-institusi yang berperan dalam melaksanakan atau menegakkan UUHC, norma-norma yang berkaitan  dengan perlindungan hak ekonomi pencipta, serta sikap, perasaan, dan pikiran masyarakat terhadap hak-hak ekonomi pencipta, khususnya pencipta lagu dan musik di Indonesia. Diatas telah di bahas bermacam-macam hak ekonomi pencipta. Berbeda dari pembagian hak ekonomi menurut berbagai kepustakaan.

Friedman mengatakan, ada tiga komponen sistem hukum, yaitu, struktur hukum, subtansi hukum, budaya hukum. [3]  Pertama struktur hukum, adalah kerangka atau rangkainya hukum, bagian yang memberi bentuk dan batasan terhadap keseluruhan . Struktur adalah semacam sayatan sistem hukum, semacam foto diam yang menghentikan  gerak. Struktur hukum itu berkaitan dengan wadah, organisasi atau lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum.  Kedua, subtansi hukum, meliputi aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu-keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Jadi, subtansi hukum tidak terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Penekanan di sini terletak pada hukum yang hidup (living law) bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books). Ketiga, budaya hukum, adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum  kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapanya.

Untuk menangulanggi tindak pidana pembajakan di Indonesia, penekanan secara hukum pidana sangat penting dilakukan, dengan bantuan hukum lain yang terkait dan ada hubunganya regulasinya. Friedmand, mengatakan, ada tiga komponen dalam sistem hukum, yaitu, yaitu, struktur hukum, subtansi hukum, budaya hukum. Dalam struktur hukum UUHC yang baru dijelaskan, bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban tindak pidana hak cipta, dapat menemph dengan jalur mediasi oleh dirjen HKI, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Niaga, dan menempuh upaya hukum pidana melalui proses pengaduan ke Kepoliaan, Kejaksaan dan Pengadilan Umum. Didalam UUHC yang baru juga dimungkinkan, hukum lain dapat digunakan dalam rangka membantu penegakkan hukum pidana, terhadap tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik di Indonesia dengan sarana UU Tipikor. Dalam subtansi hukum didalam UUHC yang baru, juga terdapat ruang Undang-undang lain dapat digunakan untuk membentu penegakan hukum UUHC yang berkaitan dengan tindak pidana pengelapan pajak dan atau tidak membayar pajak produk fisik CD dan DVD maupun media digital lainya pada sektor PNBP. Seperti tertuang dalam pasal 83 Ayat (1), UU No 20 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, “ Perjanjian lisensi harus dicatatkan oleh Menteri dalam daftar umum perjanjian lisensi Hak Cipta dengan kenai dana”. Disini semestinya para pembajak ketika melakukan perjanjian lisensi dengan para pelaku pertunjukan, di kenakan biaya yang masuk dalam PNBP di kementrian. Namun, karena pelaku tindak pidana tidak pernah meminta lisensi kepada para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan laianya, maka biaya lisensi yang semestinya masuk ke kas negara pada sektor PNBP Termasuk produk fisik dan digital yang memproduk, wajib di kenai pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu, pajak yang dikenakan qatas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredaranya dari produsen ke konsumen. Jenis pajak ini dengan istilah bahasa Ingris dinamakan Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST).   Dari catatan ASIRI Dari Tahun 2002 hingga Tahun 2017, kerugian negara akibat adanya pengelapan PNBP dan PPN senilai Rp 1,75 trilyun rupiah, yang tidak dibayarakan ke kas negara, hal ini merupakan kerugian negara yang secara langsung merugikan perekonomian negara. Sehingga, atas kerugian negara dan perekonomian negara ini, siapapun yang melakukan tindakan melawan hukum, maka dapat di proses dengan diluar UUHC, namun dapat mengunakan UU Tipikor sebagai sarana membantu penegakkan hukum pidana untuk memberantas tindak pidana pembajakan di Indonesia. Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi baik secara perseorangan maupun korporasi dalam tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik pada sektor pendapatan  PNBP harus dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.  Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.  Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar  

 

biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.  Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum didalam mendukung terciptkanya UUHC yang baik dan optimal dalam memberantas tindak pidana pemnbajakan, harus diletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi korupsi sektor pendapatan PNBPdan PPN. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[4] Upaya untuk menjamin penegakan hukum dalam UUHC harus dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakkan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan yang berkaiatan dengan penegakkan hukum pidana guna memberantas tindak pidana pembajakan di Indonesia. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu

 

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. [5] Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah. Dalam kaitanya dengan tindak pidana korupsi atas pengelapan dana PNBP dan PPN oleh pata yuser pada perusahaan korporasi, saat ini memang perlu digalakkan sosialiasi atas keberlakukan UU Tipikor dalam turut sertanya mengawal UUHC dalam penagakan hukum pidana atas maraknya tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik di Indonesia.  Hal ini merupakan implementasi dari keberlakukan UUHC yang implikasinya dapat bersentuhan dengan hukum lain sebagai sarana pendukung dan pelangkap atas lemahnya peneggakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembajakan dalam UUHC yang baru.

Sejak awal tahun 2017 UUHC sudah mulai dilaksanakan oprasionalnya, setelah tahun 2014 UU No 28 Tahun 2014 mulai disahkan dan memebutuhkan waktu dua tahun untuk tahapan sosialisasi UU baru. Dari sisi ekonomi dan moral, secara ekonomi memang ada peningkatan atas pendapatan pelaku pertunjukan, sejak munculnya lembaga LMKN dan LMK sebagai lembaga pemungut royalti di Indonesia. Namun, di sisi lain, UUHC yang baru belum memberikan dampak berarti atas penegakkan hukum pidanya, hal itu diwujudkan atas fonomena tindak pidana pembajakan di Indonesia masih tetap eksis dan merajalala menguasai pasar domestik atas produk CD dan DVD bajakan dengan presentase produk hampir 90% merupakan produk illegal bajakan. Hal ini yang semstinya menjadi perhatian pemerintah, atas kebrlakukan UUHC yang baru, ternyata lebih dominan pada spek keperdataan dan mengiring semua masalah hak cipta di selesaikan secara perdata melalui sarana mediasi, sehingga hal itu menghambat terhadap penagakkan hukum pidana hak cipta dewasa ini. Oleh sebab itu, UU Tipikor pengelapan atas PNBP harus di tindak tegtas, karena hal itu akan membantu UUHC yang baru dalam menegakkan hukum pidananya. Beberapa Modus Korupsi Sbb : 1.Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain dengan ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/ kantor, pengeluaran anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/koorporasi jika ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.

 

 

Tindak Pidana Korupsi pengelapan penerimaan PNBP dan PPN dari sektor musik dan lagu sebagaimana diatur didalam UUHC adalah sebagai sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana. Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

 

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana pembajakan sebagaimana diatur dalam UUHC yang baru merupakan bagian dari (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana non penal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat yang terkait pemahaman UUHC sebagai pilar pokok perlindungan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi para pelaku pertunjukan di Indonesia; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan terhadap distribusi fisik maupun non fisik produk karya cipta lagu dan musik dipasaran secara terus-menerus seluruh komponen pelaku pertunjukan pemerintah polisi dan aparat keamanan lainnya, menjadi upaya pencegahan tindak pidana pembajakan. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional.  Tujuan uatama usaha non penal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, menyadarkan pelaku tindak pidana pembajakan dan tindak pidana hak cipta lainnya, karena secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diiternsifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan, tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik. Seperti kegagalan pemerintah dalam menangulanggi tindak pidana pembajakan karya cipta lagu dan musik di Indonesia kali ini, harus mendapat perhatian serius oleh palaku pertunjukan di Indonesia. Oleh karena itu, suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Dengan demikian masalah utamanya adalah mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau politik non penal dan penal itu kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial yang menumbuh suburkan tindak pidana pembajakan. Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna, sehingga membantu para pelaku seni dan pelaku pertunjukan di Indonesia menjadi manusia yang bermartabat dan mengalami peningkatan derajat hidup ekonomi yang baik dan layak pada umumnya dan UUHC yang baru sebagai malaikat penolong guna mencapai rasa keadilan dan ketetriban hukum menuju kesejahteraan dan kedamaian bagi pelaku pertunjukan di Indonesia. 

Dari sini kita akan teredukasi dan memberi kita wawasan tentang copyright dalam karya musik Indonesia

 

Untuk download Aplikasi klik disini Dangduter atau kunjungi Play Store di Android anda

Jangan lupa kunjungi akun Sosmed Dangduter ya.

FB : @Dangdutercom

IG : @Dangdutercom

 

[1] UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang baru, Pasal  5-11

[2] Lawrence M. Friedman, Op.Cit. hlm 6-11.

[3] Lawrence M. Friedman, Op.Cit. hlm 6-11.

[4] Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3.

 

[5] Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 22.

Konten Lainnya